Rangking 1 ya….anakku
di sebut nomor urut ke 25 dari 28 anak, RIZQY BAHTIAR HP di Kelas IB SDN 1,3,6
Ungaran. Ehm.. ku dengar dengan baik satu persatu nama teman sekelasnya di panggil sesuai dengan
urutan absen, dan saat tiba giliran anakku di sebut dengan nama dan di akhir
kalimat “RANGKING 1”.
Alhamdulillah ku ucap
dalam hati, dan terus bersyukur atas prestasi yang di miliki oleh anakku. Dan di
pagi hingga siang hari acara demi acara kelas ku ikuti dengan baik dan tak
sabar segera memberitahu ke istriku dan anakku di rumah yang menunggu dengan
gelisah.
Ku parkir kendaraan
di garasi dan keluar dari sana dengan membawa raport hasil pendidikan selama
semester ganjil anakku. Dengan agak malu-malu, anakku bertanya “ pak raportnya
mana? Ehm aku rangking berapa?. “..ku jawab “sini nak” kepeluk dan kubisikkan
dengan penuh kelembutan. “Terimakasih ya…mas Rizqy rangking 1”….sontak kaget
dan berteriak keras….”horeee aku rangking 1”….yah itulah ekspresi ketika ku
kabarkan berita ini. Istriku menyambut dengan menggendong si SEKAR…”Wah selamat
ya nak”….”Makasih bu” …sambil melihat nilai nilai yang tertera di situ. Dan tak
mau ketinggalan si HAIDAR “hore hore hore rangking satu”
Jadi teringat
beberapa orang tua murid yang lain rata-rata bersikap rangking adalah segala
galanya, bahkan ada yang sangat kecewa dan marah pada anaknya yang hanya mendapat
nilai sedang-sedang saja, padahal yang aku tahu (dari cerita anakku) bahwa anak
itu sudah mengikuti berbagai macam les yang sangat memadatkan hari-harinya.
Anak itu juga katanya kadang tampak ketakutan dengan nilai ulangan hariannya
yang hanya biasa-biasa saja. Tampaknya anak itu takut mengecewakan ibunya…atau
takut dimarahi dan dihukum tidak boleh main selama seminggu..waduh kasihan yaa?
Memang sebenarnya
sangat memprihatinkan bahwa masih banyak orang tua yang hanya hanya
berorientasikan pada hasil dari belajar anaknya, bukan pada
bagaimana proses belajar anak itu. Betapa beratnya beban yang
harus dipikul seorang anak untuk dapat menyenangkan hati orang tuanya.
Bagaimana seandainya sang anak sudah ngotot berusaha tapi tetap tidak mencapai
standard yang ditetapkan orang tua? Dan bagaimana jika karena ketakutan untuk
dimarahi akhirnya sang anak berpikir keras untuk mencari “jalan pintas” dengan
menyontek misalnya?
Ada kejadian yang
“cukup mengerikan” yang benar-benar memprihatinkan kala seorang anak yang nilai
raportnya bagus-bagus, mampu masuk 10 besar, namun setelah dicek ternyata
jawaban ulangannya adalah hasil nyontek! bagaimana ini? yah itu bisa terjadi
karena memang untuk mencapai ranking tinggi seorang anak bisa melakukan apa
saja. Namun untuk menjadi orang sukses dimasa depannya apakah ranking itu cukup
membantu? Apakah dengan modal sebuah ranking yang tinggi di “hanya” diantara
sekitar 40-50 anak lain seorang anak kelak di masa depannya di lingkungan yang
lebih luas lagi akan mampu bersaing mencapai sukses diantara ribuan anak lain
yang segenerasi dengannya?
Memang benar ranking
bisa dipakai untuk memacu semangat anak untuk belajar semaksimal kemampuannya.
Anak akan tahu sampai seberapa batas kemampuannya dihargai dan sampai seberapa
tinggi kemampuannya dibanding teman-temannya. Namun jika orang tua hanya
memakai ranking untuk sekedar mendapat hasil akhir (nilai tinggi) tanpa
memikirkan dengan cara bagaimana hasil yang maksimal itu didapat (proses
belajarnya) dan menghargai apapun hasil yang didapatnya, maka anak akan
frustrasi saat mendapati nilai-nilainya tidak sesuai dengan harapan orang
tuanya. Kalau sudah seperti itu hanya ada dua kemungkinan: mencari jalan pintas
(menyontek) atau …yang memprihatinkan…anak menjadi depresi. Waduh ngeri ya?
Ada hal yang jauh
lebih penting bagi seorang anak untuk mencapai suksesnya daripada sekedar
berpacu mengejar ranking, yaitu ketekunan. Karena dengan
ketekunan dan kemauan untuk terus berusaha berarti anak telah mempunyai
investasi jangka panjang. Seorang anak yang selalu tekun tidak akan mudah
menyerah dengan tantangan-tantangan yang lebih besar di depannya di kemudian
hari. Lalu dimana peran orang tua? Hanya satu hal yang harus dilakukan, yaitu
menghargai apapun hasil akhir dari perjuangan seorang anak untuk belajar
semaksimal kemampuannya. Mau ranking 1, 2, atau 12, yang penting kita tahu anak
kita sudah berjuang maksimal, kita harus menghargainya. Dengan demikian seorang
anak akan dengan bangga juga menghargai hasil usahanya sendiri dan dengan wajah
ceria berangkat ke sekolah tanpa beban apapun, karena ia yakin bahwa kita
selalu mendukung perjuangannya apapun hasil yang diperolehnya nanti.
Kesuksesan anak kita
tidak bisa dicapai hanya dengan memacu ranking di sekolah, jauh lebih penting
adalah bagaimana mendorong anak untuk tekun berusaha sebatas kemampuannya (ini
penting karena kemampuan tiap anak berbeda-beda), dan akhirnya apapun hasil
yang didapatnya haruslah kita hargai. Akhirnya kelak anak kita akan terbiasa
untuk selalu tekun dalam memperjuangkan cita-citanya. Apa lagi yang lebih
membahagiakan kita sebagai orang tua selain itu?
Beruntung
sekali saya dikaruniai anak-anak seperti mereka, deretan kata syukur yang tiada
habisnya kuucapkan kepada Allah atas karunia ini…. dan lantunan doaku selalu
untuk mereka..
“ROBBANA
HAB LANA MIN AZWAJINA WA DZURRIYATINA QURROTA A’YUN, WAJ’ALNA LILMUTTAQINA
IMAMAA.” (Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta
istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi
orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqon:74)
Terimakasih anakku, bangganya memilikimu….
salam dari Bapak ,
Ibu dan Adik – adik mu…(HAIDAR &
SEKAR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar